
Mengajarkan seseorang membuat game platformer bukan sekadar menyampaikan teknik atau menghafal urutan perintah. Bagi saya, ini adalah petualangan bersama—sebuah perjalanan kreatif di mana kita membangun dunia dari nol, menciptakan hukum fisika kita sendiri, dan menanamkan jiwa dalam piksel-piksel diam. Inilah yang sedang saya kerjakan sekarang mengajarkan anak anak bermain dengan menggunakan coding untuk membuat game.
Setiap kali kelas dimulai, saya membayangkan diri saya seperti seorang penjelajah membawa rombongan ekspedisi ke wilayah yang belum terjamah. Dunia game platformer adalah bentang alam liar yang menanti untuk dijinakkan. Dan yang kami bangun? Sebuah dunia tempat seorang satria berjuang untuk merebut kembali kunci kastilnya.
Saya selalu mengajak peserta mulai dari hal paling dasar—tanah tempat si satria akan berpijak. Mereka menggambar dataran, menyusun batu, menetapkan batas dunia. Di sinilah saya mengajarkan filosofi penting: bahwa setiap detail adalah bagian dari cerita. Seperti membangun ekosistem, tanah yang terlalu datar tak memberi tantangan, sementara jurang yang terlalu curam bisa menghentikan semangat pemain.
Mendesain cara si satria berjalan, melompat, atau terpukul bukan hanya soal klik dan drag. Ini soal memahami ritme. Saya mengajak mereka berpikir seperti pemain: Bagaimana rasanya melompat dan gagal? Seberapa cepat harus lari agar bisa melewati jurang?
Di sini, logika berpadu dengan seni. Saya membimbing mereka membuat aturan interaksi: kapan tombol ditekan, kapan gravitasi bekerja, bagaimana si satria “merasakan” dunia di sekitarnya. Tak jarang saya melihat mata berbinar saat muridnya pertama kali melihat satria ciptaannya hidup dan bergerak.
Satu pelajaran penting yang selalu saya tekankan: setiap game butuh tujuan. Maka muncullah kunci—bukan sembarang benda, tapi simbol dari pencapaian. Saya mendorong peserta untuk berpikir naratif: Mengapa kunci itu penting? Di mana harus disembunyikan? Bagaimana pemain bisa mendapatkannya?
Mereka belajar bahwa kunci bukan hanya obyek untuk dikoleksi, tapi bagian dari perjalanan. Dan setiap rintangan yang mereka desain—musuh, jurang, jebakan—adalah bab dari kisah itu.
Hal yang paling menggembirakan bagi saya adalah ketika para peserta melihat game mereka sendiri berjalan untuk pertama kalinya. Mereka tidak hanya membuat sesuatu—mereka menghidupkannya. Seperti menyusun cerita dalam bingkai interaktif, mereka merasa menjadi pencipta dunia.
Dalam proses mengajar ini, saya tidak hanya berbagi ilmu teknis. Saya mengajak mereka menyelami filosofi game sebagai medium ekspresi dan ruang bermain bagi imajinasi. Kami tertawa saat bug muncul, bersorak saat karakter akhirnya berhasil melompat sempurna, dan diam merenung saat akhir game terasa kurang pas.
Mengajar membuat game platformer adalah salah satu pengalaman paling memuaskan yang pernah saya jalani. Bukan karena hasil akhirnya yang keren, tetapi karena prosesnya menyentuh inti dari manusia itu sendiri—hasrat untuk mencipta, bermain, dan menceritakan kisah.
Dan setiap kali saya melihat seorang peserta berhasil menyusun dunianya sendiri, saya tahu satu hal: petualangan belum berakhir. Justru baru saja dimulai.
Salam Edy Susanto